Friday 6 January 2012

Sakramen Perkawinan

Efesus

5:21. dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.

5:22-24 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.
5:25-31 Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
5:32 Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.
5:33 Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.

Kutipan di atas sering kali menimbulkan protes dari pihak isteri, terutama mereka yang sudah mengalami pahit gatirnya hidup berkeluarga. Para isteri akan berteriak: “Bagaimana mungkin saya harus tunduk kepada suami saya seperti kepada Tuhan? … dalam segala sesuatu?!”

Sebelum saya menjelaskan kepada sang isteri yang protes tersebut, saya mengajak dia membaca bagaimana nasehat untuk para suami, yang pada kenyataannya rumusannya lebih panjang, ayat 25-31. Intinya adalah: para suami harus mengasihi isterinya seperti Kristus mengasihi Jemaat-Nya. Bagaimana Kristus mengasihi Jemaat-Nya? Dengan mati di salib. Jadi terhadap suami yang begitu mencintai isteri dan keluarganya, sehingga ia berani mati demi mereka, tidak ada rugi sedikit pun untuk tunduk dan taat kepadanya. Karena suami pasti tidak akan menyalah-gunakan ketundukan dan ketaatan sang isteri.

Lagi pula, jika disebut “suami adalah kepala isteri” kita harus memahami istilah “kepala” atau “pemimpin” sesuai dengan Injil. Menurut Yesus seorang pemimpin atau seorang kepala adalah seorang pelayan, seorang hamba. “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu”. (Mat 23:11) dan juga dalam Markus 9:35 dikatakan “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Jadi, jelas menurut Injil sebutan suami sebagai “kepala” bukan menunjukkan “kuasa” atau superioritas melainkan fungsional sebagai pelayan. Kita bisa membandingkan pemahaman dari saudara-saudara kita kaum muslim, bahwa suami itu sebagai “imam” dalam keluarga. Jadi fungsi “kepala” lebih dilihat unsur spiritualitasnya.

Nasehat kepada pasutri ini dibingkai oleh ayat 21 dan ayat 33. Ayat 21 mengajak semua untuk saling merendahkan diri di dalam takut akan Tuhan, atau karena alasan iman. Dan ayat 33 supaya suami isteri saling mengasihi dan menghormati. Hormat dan kasih adalah seperti satu mata uang dengan dua sisi. Keduanya saling melengkapi. Keduanya harus ada. Seorang isteri merendahkan diri jika ia hormat dan taat kepada suaminya. Sang suami juga merendahkan diri dengan mengasihi dan melayani isterinya.

Jika suami isteri menghayati ajaran ini maka, dikatakan dalam ayat 32 bahwa “rahasia ini besar”. Artinya relasi suami isteri itu suatu “rahasia agung” yang memperlihatkan kasih Kristus terhadap Jemaat-Nya. Orang bisa melihat kehadiran Tuhan sendiri dalam relasi suami isteri yang sedemikian indah.

Kata “rahasia” dalam bahasa Yunani adalah “mystérion”. Ketika Kitab Suci diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, kata itu menjadi “sacramentum”. Itulah satu-satunya kata sakramen dalam Kitab Suci, yang menunjukkan arti yang indah dari relasi suami isteri yang menghayati sungguh-sungguh Efesus 5 ini.

Dalam pengertian inilah maka sakramen perkawinan bukan hanya terjadi pada waktu upacara pernikahan, tetapi seluruh hidup pasutri, bahwa mereka adalah sakramen satu bagi bagi yang lain. Suami menjadi berkat bagi isteri dan sebaliknya. Mereka saling menyucikan, saling menyembuhkan dalam jatuh bangun hidup kepasutrian mereka. Dengan bangun setiap kali mereka jatuh, pasutri akan bertumbuh … asal kerendahan hati menjadi kekuatan mereka. (P. Al. Lioe Fut Khin, MSF)

Mati sebagai milik Kristus

Saya dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Konghucu yang taat. Ibu saya setiap pagi dan petang bersembahyang di depan altar Co Kiun (Dewa Dapur), dan setiap Cho Jit Sip Eng (tanggal 1 dan 15 menurut kalender bulan) ia selalu sit cai (berpuasa dan berpantang setengah hari). Ketika saya mulai remaja saya mulai bertanya mengenai banyak hal tentang adat kebiasaan ini, seperti misalnya: siapa Co Kiun itu, siapa yang disembah di Kelenteng di kampung kami pada waktu itu, dan berbagai macam hal lain yang menjadi adat kebiasaan leluhur.

Yang menarik perhatian saya adalah beberapa hal kebiasaan disekitar acara melayat orang yang meninggal. Pada waktu saya mulai menginjak remaja, saya pernah bertanya kepada Ayah saya, mengapa orang yang melayat harus mengikat benang merah atau kain yang disobek kecil-kecil dan diikat pada jari pelayat. Dan ketika sampai di rumah benang itu diikat pada ranting bunga atau pohon di depan rumah. Kemudian kita tidak boleh langsung masuk ke rumah lewat pintu depan tetapi harus lewat pintu belakang dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayah saya menjelaskan (saya kira sesuai dengan kepercayaan dan pengetahuannya yang terbatas) bahwa hal itu dilakukan supaya arwah yang meninggal tidak mengikuti kita pulang ... Pada waktu itu sudah muncul pikiran kritis saya: apakah orang yang meninggal itu menjadi linglung sehingga ia ikut sembarangan orang pulang, orang yang bukan sanak keluarganya? Tetapi ini hanya saya katakan dalam batin saya.

Kemudian sesudah dewasa dan mulai mengenal budaya lain, saya melihat hal lain lagi berkaitan dengan hal melayat ini, yakni anak-anak bayi tidak diperkenankan dibawa ke tempat orang yang baru meninggal. Mereka akan jatuh sakit. Saya pernah bertanya juga kepada Ayah saya mengapa? Karena diganggu arwah yang meninggal. Dalam hal ini juga saya sulit menerimanya dengan akal sehat. Mengapa ketika si Nenek masih hidup ia sayang pada cucunya, tetapi sesudah meninggal bisa “mengganggu” cucunya? Apakah orang yang sudah meninggal itu menjadi linglung?

Pertanyaan-pertanyaan tetap tidak terjawab. Sampai suatu ketika, pada waktu saya berkarya sebagai pastor paroki di salah satu paroki di Samarinda. Suatu hari ada seorang ibu asal dari Flores meninggal dunia karena usia tua. Ia tinggal bersama anaknya di sebelah pastoran. Jenazahnya disemayamkan di rumah selama tiga hari. Setiap malam diadakan upacara ibadat untuk mendoakan arwahnya. Pada hari ketiga sebelum ia dimakamkan, jenazahnya akan didoakan dalam perayaan ekaristi di Gereja. Pada waktu jenazah akan diberangkatkan, salah seorang ibu suku Toraja, sahabat dari almarhumah, kerasukan roh yang dalam bahasa Flores mengatakan dengan marah bahwa selama tiga hari ia “tidak diberi makan.” Hal ini sungguh mengejutkan saya. Saya teringat Ayah saya masuk katolik sekitar 5 tahun sebelum beliau meninggal dunia. Apakah Ayah saya juga masih membutuhkan makanan sam sang (yaitu persembahan makanan daging babi, ayam dan banyak macam lainnya untuk yang meninggal)?

Pertanyaan-pertanyaan ini terjawab. Pada salah satu Konvenas Karismatik ada seorang pembicara, yaitu Fr. Jose Francsico C. Syquia – Direktur dari Karya Exorcism Keuskupan Agung Manila yang membuka mata dan meneguhkan iman saya. Menurut beliau, pada waktu orang meninggal dunia ada banyak roh-roh lain datang mengerubunginya, entah untuk mencari makan atau mencari teman atau yang paling jahat untuk menguasai arwah orang yang meninggal. Dalam kasus yang terakhir tadi, yang merasuki ibu Toraja itu bukan arwah Ibu Flores itu, tetapi roh jahat. Roh jahat bisa berbahasa apa saja, ia sangat pandai menipu. Dialah yang ingin mendapatkan makanan. Sedangkan bagi arwah yang didoakan , doa sudah cukup bagi mereka sebagai ungkapan perhatian dan kasih sayang. Karena ketakutan orang yang akan meninggal adalah jika ia sampai dilupakan. Ingat, Yesus sendiri mewariskan Ekaristi supaya kita senantiasa mengenang-Nya.

Dengan demikian saya mulai mengerti rahasia kain merah dan pantangan bagi bayi di tempat layat. Bukan arwah orang yang meninggal yang akan ikut pulang pelayat atau mengganggu si bayi, melainkan roh-roh jahat yang mencari mangsa. Apalagi jika roh-roh itu tidak dapat mendapatkan si mati, maka ia akan mencari korban yang paling lemah ... secara fisik: bayi-bayi dan secara rohani: mereka yang tidak beriman, yang tidak memiliki pegangan.

Dari pemahaman ini, saya semakin menghargai Sakramen Minyak Suci. Kita tahu bahwa Sakramen tersebut memberikan rahmat penghapusan dosa dan kekuatan ilahi untuk sembuh atau menyiapkan diri untuk menghadap Tuhan. Dengan menerima Sakramen itu orang yang sakit diteguhkan sekali lagi bahwa ia adalah milik Kristus. Tidak ada kuasa lain yang dapat merebutnya. Sakramen itu bagaikan cap atau segel yang tidak terbantahkan bahkan oleh roh-roh jahat.

Tetapi saya berharap, sesudah Anda membaca tulisan ini, Anda tidak berbondong-bondong ke pastoran untuk mendapatkan Sakramen Minyak Suci. Karena sebetulnya pada waktu kita dibaptis, kita sudah menerima cap kepemilikan itu. Dengan dibaptis kita sudah dimeteraikan dengan Roh Kudus. Itulah tandanya bahwa kita adalah anak Allah, milik Kristus. Hal ini diteguhkan lagi melalui Sakramen Krisma. Hanya memang dalam perjalanan hidup, cap tersebut bisa menjadi semakin kabur jika hidup kita berdosa tetapi sebaliknya dapat menjadi jelas kembali jika kita bertobat.

Sarana yang paling ampuh untuk memelihara cap tersebut adalah dengan sesering mungkin menyambut Ekaristi. Melalui Ekaristi kita mengalami secara sakramental kesatuan kita dengan Kristus. Kristus ada dalam diri kita dan kita dalam Kristus. Kita adalah apa/siapa yang kita santap. Bandingkan, saya mengenal seorang romo misionaris dari Jerman yang setiap pagi makan roti dengan Maling (daging babi kalengan) yang memilik aroma khas. Setiap pagi dan bertahun-tahun ia mengkonsumsi barang terebut sehingga jika saya berada di dekatnya, apalagi jika udara panas dan berkeringat, saya bisa mencium aroma Maling tersebut. Saya berharap, kami para romo dan juga umat yang rajin, yang setiap hari menyambut Ekaristi bisa memiliki aroma Kristus juga. Dengan demikian pada waktu kita mati, tidak ada roh jahat satu pun yang berani mendekat ... semoga.

Keluarga vs Pasangan

Baru di Banjarmasin ini saya mendengar ungkapan: “mantan saudara” tidak ada dalam kamus tetapi “mantan isteri” biasa. Artinya, ikatan persaudaraan tidak pernah putus antara saudara kandung atau dengan orang tua kandung, tetapi ikatan dengan pasangan bisa putus, bisa cerai. Oleh karena itu kesimpulan yang diambil: saudara kandung dan orang tua kandung harus didahulukan, pasangan bisa suatu waktu tidak lagi menjadi pasangannya.

Saya mau mengatakan bahwa kesimpulan itu tidak benar.

Ketika seseorang menikah “seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Kata meninggalkan ayahnya dan ibunya berarti manusia sudah dewasa, tidak tergantung lagi pada orangtuanya dan sudah bisa bertanggungjawab sendiri. Ini tidak berarti bahwa ia tidak lagi mencintai saudara atau orang orangtua kandungnya, hanya karena ia lebih mencintai pasangannya. Karena itu ayah dan ibunya harus “ditinggalkan” untuk bersatu dengan pasangannya “menjadi satu daging”. Menjadi satu daging, bukan hanya dalam arti biologis, tetapi lebih dimaksudkan sebagai “satu tubuh” sebagaimana yang dijelaskan oleh Santo Paulus (lih. 1 Kor 12:12-31). Suami isteri yang menikah adalah satu. Karena itu Tuhan mengajarkan bahwa perkawinan yang demikian tidak dapat dipisahkan.

Oleh karena itu dalam pastoral keluarga, adalah hal yang sangat peka supaya orangtua, keluarga dari kedua belah pihak tidak terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga pasangan suami-isteri (muda). Menghargai dan menghormati otonomi rumah tangga mereka adalah sikap yang bijaksana. Kita hanya boleh berpendapat jika dimintai pendapat. Tidak bisa dapur dan tempat tidur mereka harus diatur oleh “Sang Mami” yang masih terus menyediakan botol susu untuk “anak tersayang”.

Dalam pengalaman saya sebagai seorang pastor, saya sudah menemukan banyak keluarga yang hancur hanya karena mertua atau ipar terlalu campur tangan dalam hidup suami atau isteri yang mereka kira masih menjadi “milik” mereka. Apa yang mereka lakukan adalah menjadi batu sandungan yang membuat suami isteri “terjatuh”. “Batu sandungan” di dalam Injil adalah tindakan seseorang yang membuat orang lain berdosa. Orang yang demikian lebih baik tidak pernah lahir, menurut Tuhan Yesus, ataupun lebih baik sebuah batu kilangan diikat pada lehernya dan dibuang ke laut. Artinya, orang demikian lebih mati daripada hidup. Kata-kata Yesus ini keras. Tetapi memang demikianlah hendaknya, karena apa yang mereka lakukan, yang mereka kira ungkapan kasih sayang mereka, ternyata suatu kejahatan – sesuatu yang yang menghancurkan sepasang insan yang saling mencintai, yang dipersatukan Allah.

Oleh karena itu, ungkapan di atas harus dipahami dengan cara yang baru. Karena istilah “mantan saudara” dan “mantan ayah atau ibu” itu tidak ada; hubungan darah dan kekeluargaan itu tidak pernah putus, maka hal ini tidak perlu dikuatirkan atau dicemaskan. Karena kita tidak akan kehilangan anak atau saudara kita. Tetapi karena istilah “mantan isteri” itu bisa terjadi, relasi suami isteri itu menjadi relasi yang rapuh, yang harus dijaga betul, dipelihara dengan baik dan diberi perhatian ekstra. Artinya relasi suami istri harus dinomersatukan melebihi relasi dengan saudara dan orang tua kandung. Jika suami isteri memiliki relasi yang akrab dan bertanggungjawab, dengan sendirinya mereka juga akan tetap menjaga relasi yang baik dengan keluarga besarnya.

Wahai para mertua dan saudara ipar, jagalah rumah tangga anak atau saudaramu dari dirimu sendiri. Kasihilah mereka dengan tulus, yakni hanya menginginkan kebahagiaan sebagaimana yang mereka cita-citakan, bukan seperti yang kita inginkan; hormatilah mereka sebagai pribadi-pribadi yang sudah dewasa, yang mampu mengatur sendiri bahtera rumah tangga mereka. Mertua yang bijaksana akan dikasihi menantunya. Ingat Rut bagaimana ia setia dan mengasihi Naomi mertuanya.

Bagi para pasutri, khususnya yang masih muda, jadikanlah hidup perkawinanmu sebagai jalan untuk mencapai kesucian dan kematangan manusiawi, dengan mau terus menerus belajar memaafkan dan mengampuni, rendah hati, sabar dan berani berkorban. Tuhan memberkati.

(P. Al. Lioe Fut Khin, MSF)

Keluarga Ceria! Keluarga Setia!

Seorang ibu bijaksana pernah berkata,
"Keluarga yang bermain bersama, tetap selalu bersama"

Ada beberapa kegiatan dan kebiasaan yang dapat kita cari atau kita ciptakan untuk menumbuhkan dan menghangatkan Kasih dalam Keluarga kita.

Semua kegiatan ini tidak memerlukan beaya besar. Siapa saja mampu melaksanakannya secara financial, yang penting kita mau meluangkan waktu bersama. Ingat: relasi dalam keluarga jauh lebih penting daripada segala keberhasilan dalam bisnis maupun karier. Ada orang memulai suatu jaringan bisnis, tetapi berakhir pada kehancuran keluarga. Lalu apalah artinya sebuah keberhasilan, jika dalam keluarga kita tidak bahagia.

Jadi perhatikan hal-hal berikut:

Rekreasi keluar rumah

Pergi keluar jalan-jalan bersama satu keluarga. Apa yang Anda pikirkan? Di Banjarmasin memang tidak ada banyak tempat yang bisa dituju. Namun dalam keadaan yang terbatas, keluarga bisa saja berjalan-jalan ke Mal, ke toko buku, menonton film atau sekedar mencari makanan harga kaki lima dengan rasa bintang tujuh … Atau jika kita menyukainya, kita dapat pergi memancing, atau jalan-jalan ke pantai Takisung, walau tidak seindah pantai di Bangka. Mungkin sebuah keluarga dapat membuat daftar tujuan jalan-jalan berdasarkan pendapat tiap-tiap anggota, jika terkumpul sepuluh tujuan lalu semua akan mendapat gilirannya, entah seminggu atau dua minggu sekali, atau bahkan sebulan sekali. Hal ini akan menjadi saat-saat yang dinanti-nantikan, sehingga semuanya menjadi bergairah. Saat-saat indah bersama akan menjadi kenangan seumur hidup. Termasuk rekreasi juga jika orang tua dan anak-anak bisa bermain bersama, seperti lempar-lempar atau menendang-nendang bola, berenang bersama, bermain layang-layang dan lain sebagainya.

Kencan Keluarga

Berkencan bukan hanya untuk mereka yang masih pacaran. Kencan juga dapat dilakukan oleh anggota-anggota keluarga, terutama untuk merayakan atau memperingati peristiwa-peristiwa tertentu: hari ulang tahun kelahiran dan terutama ulang tahun perkawinan. Carilah kesempatan untuk mengungkapkan rasa kasih sayang entah dengan kata-kata maupun dengan berbagai ungkapan yang lain, seperti bunga, hadiah ataupun sentuhan fisik yang yang hangat. Ingat: cinta harus diungkapkan, bahkan bagi pribadi-pribadi tertentu, mereka membutuhkan ungkapan yang jelas to the point “aku sayang kamu” - tidak cukup hanya dengan symbol, apalagi dengan pandangan mata saja. Ingatlah masa-masa berkencan dahulu, suasana romantis ... lalu sekarang sesudah sekian tahun menikah, apakah hal-hal itu tidak diperlukan lagi?

Ceria – Dalam Rumah

Anda ingin merasa krasan dalam keluarga? Ciptakan bersama, suasana krasan tidak datang dengan sendirinya. Pertama-tama sediakan waktu. Kemudian buatlah kebiasaan, semacam rutinitas seperti selesai makan malam waktu releks bersama, jika perlu TV dimatikan, atau jika ada acara TV yang menarik untuk semua anggota keluarga, nonton bersama. Atau bermain games bersama, atau hanya sekedar membiarkan dan mendengar anak-anak bercerita tentang hal-hal yang terjadi di sekolah. Jika anak-anak Anda harus belajar atau mengerjakan PR, Anda juga ikut bekerja atau “belajar” dengan membaca buku atau majalah. Jangan perlihatkan bahwa Anda sedang santai sementara anak-anak Anda bekerja. Anda pernah bermain perang-perang bantal dengan anak-anak Anda yang masih SD? Atau lempar-lemparan bola yang dibuat dari gulungan koran? Hal seperti ini sangat sederhana, murah dan sangat menyenangkan anak-anak.

Tertawa Bersama

Kapan terakhir kali Anda sempat tertawa terbahak-bahak dengan anak-anak? Ada banyak buku “tertawa” yang berisi kisah-kisah lucu. Anda dapat membacanya bersama. Memang tidak semua orang bisa melucu dan tertawa. Tetapi kita bisa menunjukkan dalam kebersamaan bahwa kita senang dan bahagia; kita bangga bersama-sama mereka.

Pada kesempatan-kesempatan seperti ini, sungguh menjadi saat-saat yang berharga untuk diabadikan dalam album foto. Anak-anak akan menyimpan dalam kenangan mereka betapa mereka bahagia dalam keluarga dan di rumah mereka.

Ciptakan keluarga ceria. Jika ada masalah, selesaikan secepatnya. Kitab Suci mengatakan: Jangan biarkan matahari terbenam sebelum padam amarahmu. Dan jangan lupa: sebelum tidur, doa bersama.

Banjarmasin, 12 Januari 2011

Rm. Al. Lioe Fut Khin, MSF