Efesus
5:21. dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.
5:22-24 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.5:25-31 Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
5:32 Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.
5:33 Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.
Kutipan di atas sering kali menimbulkan protes dari pihak isteri, terutama mereka yang sudah mengalami pahit gatirnya hidup berkeluarga. Para isteri akan berteriak: “Bagaimana mungkin saya harus tunduk kepada suami saya seperti kepada Tuhan? … dalam segala sesuatu?!”
Sebelum saya menjelaskan kepada sang isteri yang protes tersebut, saya mengajak dia membaca bagaimana nasehat untuk para suami, yang pada kenyataannya rumusannya lebih panjang, ayat 25-31. Intinya adalah: para suami harus mengasihi isterinya seperti Kristus mengasihi Jemaat-Nya. Bagaimana Kristus mengasihi Jemaat-Nya? Dengan mati di salib. Jadi terhadap suami yang begitu mencintai isteri dan keluarganya, sehingga ia berani mati demi mereka, tidak ada rugi sedikit pun untuk tunduk dan taat kepadanya. Karena suami pasti tidak akan menyalah-gunakan ketundukan dan ketaatan sang isteri.
Lagi pula, jika disebut “suami adalah kepala isteri” kita harus memahami istilah “kepala” atau “pemimpin” sesuai dengan Injil. Menurut Yesus seorang pemimpin atau seorang kepala adalah seorang pelayan, seorang hamba. “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu”. (Mat 23:11) dan juga dalam Markus 9:35 dikatakan “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Jadi, jelas menurut Injil sebutan suami sebagai “kepala” bukan menunjukkan “kuasa” atau superioritas melainkan fungsional sebagai pelayan. Kita bisa membandingkan pemahaman dari saudara-saudara kita kaum muslim, bahwa suami itu sebagai “imam” dalam keluarga. Jadi fungsi “kepala” lebih dilihat unsur spiritualitasnya.
Nasehat kepada pasutri ini dibingkai oleh ayat 21 dan ayat 33. Ayat 21 mengajak semua untuk saling merendahkan diri di dalam takut akan Tuhan, atau karena alasan iman. Dan ayat 33 supaya suami isteri saling mengasihi dan menghormati. Hormat dan kasih adalah seperti satu mata uang dengan dua sisi. Keduanya saling melengkapi. Keduanya harus ada. Seorang isteri merendahkan diri jika ia hormat dan taat kepada suaminya. Sang suami juga merendahkan diri dengan mengasihi dan melayani isterinya.
Jika suami isteri menghayati ajaran ini maka, dikatakan dalam ayat 32 bahwa “rahasia ini besar”. Artinya relasi suami isteri itu suatu “rahasia agung” yang memperlihatkan kasih Kristus terhadap Jemaat-Nya. Orang bisa melihat kehadiran Tuhan sendiri dalam relasi suami isteri yang sedemikian indah.
Kata “rahasia” dalam bahasa Yunani adalah “mystérion”. Ketika Kitab Suci diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, kata itu menjadi “sacramentum”. Itulah satu-satunya kata sakramen dalam Kitab Suci, yang menunjukkan arti yang indah dari relasi suami isteri yang menghayati sungguh-sungguh Efesus 5 ini.
Dalam pengertian inilah maka sakramen perkawinan bukan hanya terjadi pada waktu upacara pernikahan, tetapi seluruh hidup pasutri, bahwa mereka adalah sakramen satu bagi bagi yang lain. Suami menjadi berkat bagi isteri dan sebaliknya. Mereka saling menyucikan, saling menyembuhkan dalam jatuh bangun hidup kepasutrian mereka. Dengan bangun setiap kali mereka jatuh, pasutri akan bertumbuh … asal kerendahan hati menjadi kekuatan mereka. (P. Al. Lioe Fut Khin, MSF)