Saya dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Konghucu yang taat. Ibu saya setiap pagi dan petang bersembahyang di depan altar Co Kiun (Dewa Dapur), dan setiap Cho Jit Sip Eng (tanggal 1 dan 15 menurut kalender bulan) ia selalu sit cai (berpuasa dan berpantang setengah hari). Ketika saya mulai remaja saya mulai bertanya mengenai banyak hal tentang adat kebiasaan ini, seperti misalnya: siapa Co Kiun itu, siapa yang disembah di Kelenteng di kampung kami pada waktu itu, dan berbagai macam hal lain yang menjadi adat kebiasaan leluhur.
Yang menarik perhatian saya adalah beberapa hal kebiasaan disekitar acara melayat orang yang meninggal. Pada waktu saya mulai menginjak remaja, saya pernah bertanya kepada Ayah saya, mengapa orang yang melayat harus mengikat benang merah atau kain yang disobek kecil-kecil dan diikat pada jari pelayat. Dan ketika sampai di rumah benang itu diikat pada ranting bunga atau pohon di depan rumah. Kemudian kita tidak boleh langsung masuk ke rumah lewat pintu depan tetapi harus lewat pintu belakang dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayah saya menjelaskan (saya kira sesuai dengan kepercayaan dan pengetahuannya yang terbatas) bahwa hal itu dilakukan supaya arwah yang meninggal tidak mengikuti kita pulang ... Pada waktu itu sudah muncul pikiran kritis saya: apakah orang yang meninggal itu menjadi linglung sehingga ia ikut sembarangan orang pulang, orang yang bukan sanak keluarganya? Tetapi ini hanya saya katakan dalam batin saya.
Kemudian sesudah dewasa dan mulai mengenal budaya lain, saya melihat hal lain lagi berkaitan dengan hal melayat ini, yakni anak-anak bayi tidak diperkenankan dibawa ke tempat orang yang baru meninggal. Mereka akan jatuh sakit. Saya pernah bertanya juga kepada Ayah saya mengapa? Karena diganggu arwah yang meninggal. Dalam hal ini juga saya sulit menerimanya dengan akal sehat. Mengapa ketika si Nenek masih hidup ia sayang pada cucunya, tetapi sesudah meninggal bisa “mengganggu” cucunya? Apakah orang yang sudah meninggal itu menjadi linglung?
Pertanyaan-pertanyaan tetap tidak terjawab. Sampai suatu ketika, pada waktu saya berkarya sebagai pastor paroki di salah satu paroki di Samarinda. Suatu hari ada seorang ibu asal dari Flores meninggal dunia karena usia tua. Ia tinggal bersama anaknya di sebelah pastoran. Jenazahnya disemayamkan di rumah selama tiga hari. Setiap malam diadakan upacara ibadat untuk mendoakan arwahnya. Pada hari ketiga sebelum ia dimakamkan, jenazahnya akan didoakan dalam perayaan ekaristi di Gereja. Pada waktu jenazah akan diberangkatkan, salah seorang ibu suku Toraja, sahabat dari almarhumah, kerasukan roh yang dalam bahasa Flores mengatakan dengan marah bahwa selama tiga hari ia “tidak diberi makan.” Hal ini sungguh mengejutkan saya. Saya teringat Ayah saya masuk katolik sekitar 5 tahun sebelum beliau meninggal dunia. Apakah Ayah saya juga masih membutuhkan makanan sam sang (yaitu persembahan makanan daging babi, ayam dan banyak macam lainnya untuk yang meninggal)?
Pertanyaan-pertanyaan ini terjawab. Pada salah satu Konvenas Karismatik ada seorang pembicara, yaitu Fr. Jose Francsico C. Syquia – Direktur dari Karya Exorcism Keuskupan Agung Manila yang membuka mata dan meneguhkan iman saya. Menurut beliau, pada waktu orang meninggal dunia ada banyak roh-roh lain datang mengerubunginya, entah untuk mencari makan atau mencari teman atau yang paling jahat untuk menguasai arwah orang yang meninggal. Dalam kasus yang terakhir tadi, yang merasuki ibu Toraja itu bukan arwah Ibu Flores itu, tetapi roh jahat. Roh jahat bisa berbahasa apa saja, ia sangat pandai menipu. Dialah yang ingin mendapatkan makanan. Sedangkan bagi arwah yang didoakan , doa sudah cukup bagi mereka sebagai ungkapan perhatian dan kasih sayang. Karena ketakutan orang yang akan meninggal adalah jika ia sampai dilupakan. Ingat, Yesus sendiri mewariskan Ekaristi supaya kita senantiasa mengenang-Nya.
Dengan demikian saya mulai mengerti rahasia kain merah dan pantangan bagi bayi di tempat layat. Bukan arwah orang yang meninggal yang akan ikut pulang pelayat atau mengganggu si bayi, melainkan roh-roh jahat yang mencari mangsa. Apalagi jika roh-roh itu tidak dapat mendapatkan si mati, maka ia akan mencari korban yang paling lemah ... secara fisik: bayi-bayi dan secara rohani: mereka yang tidak beriman, yang tidak memiliki pegangan.
Dari pemahaman ini, saya semakin menghargai Sakramen Minyak Suci. Kita tahu bahwa Sakramen tersebut memberikan rahmat penghapusan dosa dan kekuatan ilahi untuk sembuh atau menyiapkan diri untuk menghadap Tuhan. Dengan menerima Sakramen itu orang yang sakit diteguhkan sekali lagi bahwa ia adalah milik Kristus. Tidak ada kuasa lain yang dapat merebutnya. Sakramen itu bagaikan cap atau segel yang tidak terbantahkan bahkan oleh roh-roh jahat.
Tetapi saya berharap, sesudah Anda membaca tulisan ini, Anda tidak berbondong-bondong ke pastoran untuk mendapatkan Sakramen Minyak Suci. Karena sebetulnya pada waktu kita dibaptis, kita sudah menerima cap kepemilikan itu. Dengan dibaptis kita sudah dimeteraikan dengan Roh Kudus. Itulah tandanya bahwa kita adalah anak Allah, milik Kristus. Hal ini diteguhkan lagi melalui Sakramen Krisma. Hanya memang dalam perjalanan hidup, cap tersebut bisa menjadi semakin kabur jika hidup kita berdosa tetapi sebaliknya dapat menjadi jelas kembali jika kita bertobat.
Sarana yang paling ampuh untuk memelihara cap tersebut adalah dengan sesering mungkin menyambut Ekaristi. Melalui Ekaristi kita mengalami secara sakramental kesatuan kita dengan Kristus. Kristus ada dalam diri kita dan kita dalam Kristus. Kita adalah apa/siapa yang kita santap. Bandingkan, saya mengenal seorang romo misionaris dari Jerman yang setiap pagi makan roti dengan Maling (daging babi kalengan) yang memilik aroma khas. Setiap pagi dan bertahun-tahun ia mengkonsumsi barang terebut sehingga jika saya berada di dekatnya, apalagi jika udara panas dan berkeringat, saya bisa mencium aroma Maling tersebut. Saya berharap, kami para romo dan juga umat yang rajin, yang setiap hari menyambut Ekaristi bisa memiliki aroma Kristus juga. Dengan demikian pada waktu kita mati, tidak ada roh jahat satu pun yang berani mendekat ... semoga.
No comments:
Post a Comment