Friday 6 January 2012

Keluarga vs Pasangan

Baru di Banjarmasin ini saya mendengar ungkapan: “mantan saudara” tidak ada dalam kamus tetapi “mantan isteri” biasa. Artinya, ikatan persaudaraan tidak pernah putus antara saudara kandung atau dengan orang tua kandung, tetapi ikatan dengan pasangan bisa putus, bisa cerai. Oleh karena itu kesimpulan yang diambil: saudara kandung dan orang tua kandung harus didahulukan, pasangan bisa suatu waktu tidak lagi menjadi pasangannya.

Saya mau mengatakan bahwa kesimpulan itu tidak benar.

Ketika seseorang menikah “seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Kata meninggalkan ayahnya dan ibunya berarti manusia sudah dewasa, tidak tergantung lagi pada orangtuanya dan sudah bisa bertanggungjawab sendiri. Ini tidak berarti bahwa ia tidak lagi mencintai saudara atau orang orangtua kandungnya, hanya karena ia lebih mencintai pasangannya. Karena itu ayah dan ibunya harus “ditinggalkan” untuk bersatu dengan pasangannya “menjadi satu daging”. Menjadi satu daging, bukan hanya dalam arti biologis, tetapi lebih dimaksudkan sebagai “satu tubuh” sebagaimana yang dijelaskan oleh Santo Paulus (lih. 1 Kor 12:12-31). Suami isteri yang menikah adalah satu. Karena itu Tuhan mengajarkan bahwa perkawinan yang demikian tidak dapat dipisahkan.

Oleh karena itu dalam pastoral keluarga, adalah hal yang sangat peka supaya orangtua, keluarga dari kedua belah pihak tidak terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga pasangan suami-isteri (muda). Menghargai dan menghormati otonomi rumah tangga mereka adalah sikap yang bijaksana. Kita hanya boleh berpendapat jika dimintai pendapat. Tidak bisa dapur dan tempat tidur mereka harus diatur oleh “Sang Mami” yang masih terus menyediakan botol susu untuk “anak tersayang”.

Dalam pengalaman saya sebagai seorang pastor, saya sudah menemukan banyak keluarga yang hancur hanya karena mertua atau ipar terlalu campur tangan dalam hidup suami atau isteri yang mereka kira masih menjadi “milik” mereka. Apa yang mereka lakukan adalah menjadi batu sandungan yang membuat suami isteri “terjatuh”. “Batu sandungan” di dalam Injil adalah tindakan seseorang yang membuat orang lain berdosa. Orang yang demikian lebih baik tidak pernah lahir, menurut Tuhan Yesus, ataupun lebih baik sebuah batu kilangan diikat pada lehernya dan dibuang ke laut. Artinya, orang demikian lebih mati daripada hidup. Kata-kata Yesus ini keras. Tetapi memang demikianlah hendaknya, karena apa yang mereka lakukan, yang mereka kira ungkapan kasih sayang mereka, ternyata suatu kejahatan – sesuatu yang yang menghancurkan sepasang insan yang saling mencintai, yang dipersatukan Allah.

Oleh karena itu, ungkapan di atas harus dipahami dengan cara yang baru. Karena istilah “mantan saudara” dan “mantan ayah atau ibu” itu tidak ada; hubungan darah dan kekeluargaan itu tidak pernah putus, maka hal ini tidak perlu dikuatirkan atau dicemaskan. Karena kita tidak akan kehilangan anak atau saudara kita. Tetapi karena istilah “mantan isteri” itu bisa terjadi, relasi suami isteri itu menjadi relasi yang rapuh, yang harus dijaga betul, dipelihara dengan baik dan diberi perhatian ekstra. Artinya relasi suami istri harus dinomersatukan melebihi relasi dengan saudara dan orang tua kandung. Jika suami isteri memiliki relasi yang akrab dan bertanggungjawab, dengan sendirinya mereka juga akan tetap menjaga relasi yang baik dengan keluarga besarnya.

Wahai para mertua dan saudara ipar, jagalah rumah tangga anak atau saudaramu dari dirimu sendiri. Kasihilah mereka dengan tulus, yakni hanya menginginkan kebahagiaan sebagaimana yang mereka cita-citakan, bukan seperti yang kita inginkan; hormatilah mereka sebagai pribadi-pribadi yang sudah dewasa, yang mampu mengatur sendiri bahtera rumah tangga mereka. Mertua yang bijaksana akan dikasihi menantunya. Ingat Rut bagaimana ia setia dan mengasihi Naomi mertuanya.

Bagi para pasutri, khususnya yang masih muda, jadikanlah hidup perkawinanmu sebagai jalan untuk mencapai kesucian dan kematangan manusiawi, dengan mau terus menerus belajar memaafkan dan mengampuni, rendah hati, sabar dan berani berkorban. Tuhan memberkati.

(P. Al. Lioe Fut Khin, MSF)

No comments: